Melintasi Jejak Sejarah Museum Tsunami Aceh

Artikel ini adalah buah dari Kegiatan Modul Nusantara Program Pertukaran Mahasiswa Merdeka 3 Universitas Muhammadiyah Aceh, dan melalui tulisan ini, aku mengajakmu untuk menapaki setiap lorong dan merasakan getaran emosional yang menggugah, seakan-akan meminta kita untuk tidak pernah melupakan kisah di balik tragedi besar yang pernah melanda Aceh.

Sebuah perjalanan spiritual melintasi lorong-lorong Museum Tsunami Aceh tidak hanya sekadar menapakkan kaki di atas lantai beton, tetapi lebih dari itu, merupakan perjalanan melintasi lorong-lorong waktu yang menggugah hati. Ini adalah refleksi dari pengalaman yang menarik saat menjelajahi museum yang sarat akan cerita tragis dan keajaiban kemanusiaan.

Pada 26 Desember 2004 silam, sekitar pukul 07.58 WIB, terjadi gempa dahsyat berkekuatan 9,3 Skala Richter yang memicu tsunami dahsyat di sepanjang daratan yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia.

Tragedi ini menelan korban jiwa kurang lebih 170.000 orang. Kejadian tragis ini telah memberikan luka yang sangat mendalam bagi masyarakat Aceh, dan sebagai penghormatan dan pengingat akan penderitaan yang mereka alami, Museum Tsunami Aceh didirikan.

Jujur saja, ketika menulis ini, aku masih dapat dengan detail menarik kembali ingatan betapa mendalamnya kesedihan yang tertuang di dalam museum ini.

Museum Aceh, yang terletak di Kota Banda Aceh, berdiri megah sejak Februari 2008. Dirancang oleh Mochamad Ridwan Kamil, rancangan museum ini memenangkan Sayembara pada 2007 dengan tema rumah adat Aceh, dengan motif dinding luar yang diadaptasi dari tarian Saman, tarian khas Aceh.

Luas Museum Aceh sekitar 2.500 m2 dan bentuknya menyerupai kapal, sebuah simbolisme yang mengingatkan akan penderitaan yang dialami oleh banyak orang.

Ketika aku pertama kali masuk, aku disambut oleh lorong Tsunami. Suasana di lorong ini mampu membangkitkan ingatan akan kegelapan dan ketakutan yang melanda saat tsunami menerjang.

Suara gemuruh air dan ombak, disertai dengan lantunan ayat Al-Quran, menggambarkan dengan sangat kuat betapa mencekamnya kejadian tersebut. Aku merasakan adanya kepasrahan kepada Yang Maha Kuasa, dan lantunan ayat Al-Quran menjadi penenang di tengah keganasan bencana.

Kemudian, aku melangkah masuk ke dalam “Space of Memory”, sebuah ruangan kenangan yang menampilkan berbagai gambar pasca-tsunami. Di dalamnya, terdapat 26 kotak yang memuat gambar-gambar kejadian setelah tsunami.

Ada gambar relawan yang gigih membantu proses evakuasi dan membersihkan puing-puing, ada gambar gajah yang turut membantu mencari jenazah dan membersihkan puing-puing reruntuhan, serta gambar mobil angkutan umum yang menjadi saksi bisu kedahsyatan tsunami.

Museum ini begitu detail, menyimpan potongan-potongan dokumentasi peristiwa dengan rapi, setiap gambar memiliki cerita tersendiri, menyatu dalam rasa kepedihan yang mendalam.

Berikutnya, terdapat ruangan “Sumur Doa” yang berbentuk cerebong, di mana dindingnya dihiasi oleh kurang lebih 3.600 nama korban yang hilang. Di tengahnya, terpampang nama yang menjadi sumber kekuatan dan doa bagi semua, yang menentukan takdir di muka bumi: Allah Yang Maha Kuasa.

Kemudian, aku melewati lorong yang disebut “Lorong Kebingungan”, dengan desain yang berbelok-belok. Lorong ini menggambarkan kebingungan masyarakat Aceh akan arah dan tujuan hidup setelah bencana tsunami.

Aku merasa seakan-akan terperangkap dalam ilusi kehampaan, tetapi kemudian aku menemukan cahaya terang melalui “Jembatan Harapan”. Jembatan ini melambangkan langkah baru masyarakat Aceh, bahwa meskipun kebingungan melanda, masih ada harapan untuk membangun kembali hidup.

Selain itu, ada juga “Jembatan Perdamaian” yang didirikan 8 bulan setelah tsunami, sebagai simbol perdamaian setelah konflik. Di atas jembatan itu berkibar 55 bendera negara yang ikut serta dalam memberikan bantuan.

Museum Tsunami dibangun tidak hanya sebagai pengingat akan bencana gempa dan tsunami, tetapi juga sebagai sarana pendidikan bagi masyarakat. Melalui berbagai foto dan pameran di dalamnya, museum ini mengajarkan betapa pentingnya solidaritas dan kekuatan manusia dalam menghadapi musibah.

Bagi aku, mengunjungi Museum Tsunami Aceh bukan sekadar perjalanan fisik, tapi juga perjalanan spiritual yang mengajarkan banyak pelajaran berharga. Melalui kehilangan yang begitu besar, masyarakat Aceh telah menerima banyak hikmah dan pembelajaran dari Allah.

Bencana alam adalah pengingat bagi kita akan kerapuhan dan kekuatan manusia. Museum ini bukan hanya menyimpan cerita-cerita tragis, tapi juga menawarkan pelajaran hidup yang dalam.

Sebagai mahasiswa yang beruntung bisa menjadi bagian dari Program Pertukaran Mahasiswa Merdeka 3, pengalaman mengunjungi Museum Tsunami Aceh telah memberikan banyak pelajaran berharga.

Dalam setiap lorong dan ruangan, terdapat cerita kepedihan, kekuatan, dan harapan yang menggugah hati. Semoga artikel ini tidak hanya menjadi catatan pribadi, tetapi juga menginspirasi pembaca untuk menghargai nilai-nilai kehidupan dan kekuatan solidaritas manusia dalam menghadapi cobaan.


Pojok Kampus: Punya keresahan yang ingin dituangkan dalam bentuk tulisan? Pengalaman, cerita unik, hal seru, atau informasi seputar kampus yang ingin disampaikan kepada publik? Atau ingin menyampaikan ide, opini dan kritik seputar dunia kampus? Yuk menjadi kontributor dan kirim naskah tulisanmu ke laman Pojok Kampus. Sebelum itu, sebaiknya kamu ikuti dengan seksama, teliti, dan hati-hati Panduan Kirim Tulisan dan Poin Kontributor di sekampus.com

Puput Siti Aisyah
Puput Siti Aisyah
Mahasiswa semester 4 Program Studi Ilmu Komunikasi di Universitas Indonesia Membangun. Alumni PMM3 Universitas Muhammadiyah Aceh. Memiliki minat dalam bidang jurnalistik. Percaya bahwa jurnalistik adalah alat penting untuk menggali informasi dan menyimpulkan fenomena dengan kritis.
RELATED ARTICLES

Leave a Reply

Ramai Dibaca