Pojok Kampus! Medio tengah tahun 2025 merupakan momen dimana universitas-universitas di Indonesia akan banyak menerima mahasiswa-mahasiswa baru. Hal ini terlihat dari jumlah mahasiswa baru yang diterima. Data dari GoodStats (2025) dan Kumparan (2025) menunjukkan bahwa total kuota mahasiswa baru di Indonesia mencapai 626.941 kursi. Dari jumlah total tersebut, sebanyak 253.421 mahasiswa telah diterima. Jumlah ini secara estimasi bisa bertambah hingga lebih dari 600 ribu orang. Angka-angka ini menunjukkan bahwa perguruan tinggi di Indonesia menghadapi problematika kelembagaan sebab alokasi mahasiswa masih menjadi pertimbangan utama.
Fenomena ini kemudian mendapat sorotan tajam dari Komisi X DPR RI yang menemukan adanya universitas yang membuka penerimaan mahasiswa baru hingga lebih dari 30 ribu orang dalam satu tahun akademik. Aksi tersebut memperlihatkan semakin masifnya pendekatan penghasilan kampus melalui satu jalur. Padahal, di era saat ini, kampus diperbolehkan memperoleh pendapatan dari sumber-sumber lain. Atas dasar tersebut, maka wajar saja jika Komisi X kemudian mendorong kementerian untuk menetapkan batas maksimal jumlah penerimaan mahasiswa baru. Usulan ini diutarakan agar universitas tidak secara membabi buta menghidupi lembaganya hanya dari sumbangan mahasiswa.
Baca juga: 10 Kampus Negeri dan Swasta Termurah di Indonesia
Fenomena ini kemudian direspon oleh Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) dengan surat edaran berupa peringatan kepada perguruan tinggi untuk tidak melakukan rekrutmen penerimaan mahasiswa baru melewati bulan Juli. Jika melanggar, Kemendiktisaintek berjanji akan melakukan follow up berupa evaluasi dan teguran kepada universitas-universitas yang tidak mematuhinya. Langkah Kemendiktisaintek ini merupakan langkah yang cukup berdasar.
Serangkaian regulasi dari UUD 1945 hingga UU Nomor 23 Tahun 2014 memang mengamanatkan pentingnya keterlibatan negara di dalam pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia. Keterlibatan negara tidak hanya soal mengatur perekrutan mahasiswa namun juga turut campur di dalam pengelolaan kelembagaan. Adanya amanat dan regulasi tersebut membuat alasan absennya negara di dalam pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia tidak bisa dimaklumi. Meskipun pada praktiknya, jauh panggang daripada api.
Runtutan peristiwa tersebut, kita jadi bertanya-tanya. Serangkaian pertanyaan seperti apa yang terjadi dengan pendidikan tinggi di Indonesia dan bentuk kelembagaan yang dapat mengakomodasi kebutuhan kampus akan anggaran namun tidak mengorbankan standarisasi penerimaan mahasisw menjadi hal urgent yang partut dijawab. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat diurai dengan mencermati pendidikan tinggi di Indonesia dengan kacamata wide view.
Dilema Kampus
Ditinjau dari lintasan sejarah, mekanisme pasar pendidikan tinggi di Indonesia sudah terjadi sejak era Orde Baru. Pada periode ini, negara mulai membuka keran partisipasi masyarakat dalam pembiayaan pendidikan sebagai awal dari bentuk komersialisasi kampus. Setelah Reformasi 1998, komersialisasi pendidikan tinggi semakin menjadi-jadi dengan adanya pendapatan dari sumber-sumber pembiayaan non-negara seperti uang kuliah mahasiswa, kerja sama industri, dan sponsor.
Komersialisasi bahkan sempat coba untuk diformalisasi melalui UU BHP pada tahun 2009 dengan memberikan status badan hukum. Meskipun menemui jalan buntu, upaya formalisasi tersebut menunjukkan semangat komersialisasi yang masih terjaga. Kebijakan-kebijakan seperti Uang Kuliah Tunggal (UKT) maupun pembukaan program studi internasional berbiaya tinggi adalah sinyalemen tegas. Dengan cara-cara seperti itu, kampus terlihat tidak lagi berjalan bersama rakyat namun justru berlari menjauhi rakyat.
Kejadian ini tentu menyedihkan namun tidak sepatutnya disalahkan. Sebab, kampus saat ini dihadapkan oleh fenomena globalisasi pendidikan. Unsur-unsur seperti pemeringkatan kampus dan persaingan branding menuntut kampus tidak hanya mengakar kuat bersama rakyat namun juga menjulang tinggi di kancah pasar global. Artinya, universitas ditarget untuk tidak hanya memenuhi hak dasar rakyat namun juga harus mampu kompetitif di bursa pasar.
Dua kutub ekstrim ini membuat kampus-kampus di Indonesia menjadi disorientasi. Tentu pilihan akomodatif terhadap rakyat sekaligus kompetitif atas kompetisi global menjadi jalan surga. Namun pilihan tersebut menjadi sulit tatkala pasar tidak ramah terhadap kemampuan kampus. Kondisi ini memberikan kampus pada pilihan berdamai dengan pasar atau berjuang dengan rakyat. Jika sudah begini, apakah kemudian ada solusi jalan tengahnya?
Baca juga: Daring Dalam Dilema, Ketika Idealnya Kuliah Offline Terjegal Realita Online
Reformasi Kelembagaan
Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan reformasi kelembagaan. Reformasi yang dimaksud adalah transformasi bentuk kepemimpinan dari klasik menjadi kontemporer. Bentuk ini mengartikan adanya pembagian peran individu-individu di dalam institusi untuk mengelola perguruan tinggi. Hal ini dapat kita lihat melalui contoh bagaimana universitas-universitas di luar negeri dikelola.
Misalnya saja, kampus-kampus di Inggris menerapkan Chancellor dan Vice-Chancellor di dalam struktur kepemimpinannya. Chancellor bertugas menghadiri acara resmi seperti wisuda dan mewakili universitas dalam kapasitas kehormatan sementara Vice-Chancellor bertanggung jawab atas manajerial sehari-hari seperti urusan akademik, keuangan, strategi, dan administrasi. Pembagian peran ini memperlihatkan fungsi kepemimpinan Chancellor dalam kapasitas internal sedangkan Vice-Chancellor dalam koridor eksternal.
Pembagian tugas tersebut menunjukkan bahwa adanya dua fungsi antara Chancellor dan Vice-Chancellor. Jika Chancellor berfungsi sebagai wajah integritas universitas, maka Vice-Chancellor bertugas mengelola akademik dan non-akademik kampus. Sederhananya, Chancellor diemban oleh public figure yang merepresentasikan spirit idealisme universitas dan maintaining outcome dari kampus sedangkan Vice-Chancellor menggambarkan pragmatisme kampus dan generating income. Bentuk kelembagaan seperti ini sangat mungkin direplikasi di Indonesia apalagi dengan adanya PTN BH yang membuat kampus-kampus memiliki kemerdekaan di dalam mengelola lembaganya.
Baca juga: Benarkah Mahasiswa Gen Z Lebih Sadar Perubahan Iklim?
Hal ini mengartikan bahwa kampus-kampus di Indonesia dapat mengangkat sosok pemimpin lain selain Rektor (Vice-Chancellor) di dalam pengelolaan kelembagaan kampus. Kampus memiliki kebebasan untuk mencari public figure yang merepresentasikan semangat universitas untuk menjaga martabat perguruan tinggi. Bentuk kelembagaan dan kepemimpinan seperti ini tidak akan menciptakan matahari kembar karena mekanisme check and balances akan berjalan diantara peran keduanya. Check and balances di dalam kelembagaan tentu akan menghasilkan manajemen yang lebih berintegritas dan profesional.
Setidaknya, hal itu yang dapat dilakukan oleh universitas-universitas di Indonesia. Di satu sisi kita tidak dapat menafikan adanya nilai-nilai globalisasi dan swastanisasi. Tapi di sisi lainnya, kita tidak bisa abai dengan komitmen negara. Kita perlu mengingat kembali seruan Paulo Freire yang menolak adanya objektifikasi pasar pendidikan melalui eksploitasi peserta didik. Ajakan Freire tersebut menjadi pengingat kita untuk selalu menghadirkan negara paling tidak melalui reformasi kelembagaan dan kepemimpinan. Harapannya, upaya-upaya ini dapat menjadi instrumen pengendalian pasar sekaligus menegaskan komitmen mencerdaskan kehidupan bangsa.
Punya keresahan yang ingin dituangkan dalam bentuk tulisan? Pengalaman, cerita unik, hal seru, atau informasi seputar kampus yang ingin disampaikan kepada publik? Atau ingin menyampaikan ide, opini dan kritik seputar dunia kampus? Yuk menjadi kontributor dan kirim naskah tulisanmu ke laman Pojok Kampus. Sebelum itu, sebaiknya kamu ikuti dengan seksama, teliti, dan hati-hati Panduan Kirim Tulisan dan Poin Kontributor di sekampus.com