Tuhan menurunkan sifat welas dan asih-Nya pada setiap anak manusia. Selanjutnya anak manusialah yang berhak atas seluruh kendali tubuhnya, entah itu dosa, keselamatan, atau mungkin kasih sayang. Konon, tingkat intensitas welas dan asih manusia bersumber pada hatinya. Jika hatinya bersih, maka berbelas kasihanilah ia. Tapi jika justru sebaliknya, maka celakalah ia.
Tak ada habisnya jika kita berbicara soal rasa. Rasa yang semua anak Adam pasti akan merasakan. Rasa iba dan kasih sayang seolah menjadi sifat lahiriah setiap manusia, tinggal bagaimana manusia mewujudkannya itulah yang membedakannya dengan manusia lain. Ada yang dengan memberi, ada yang hanya memandangi, ada pula yang memotretnya dalam sebuah puisi.
Bagi sebagian orang, mengabadikannya dalam sebuah puisi adalah sebuah pilihan yang tepat, karena bukan hanya dapat diingat oleh Sang Pengarang saja, namun juga orang lain. Sastrawan adalah saksi zaman yang memotret semua sisi kehidupan, lalu membangun dunianya sendiri dalam dunia kata-kata.
Puisi Gadis Peminta-minta karya Toto Sudarto Bachtiar ini ditulis pada tahun 1956 di Jakarta. Jika kita menilik setiap lariknya, maka akan ada tiga persepsi berbeda yang akan kita tangkap:
Pertama, puisi tersebut dibuat sebagai gambaran menyedihkan atau sisi lain dari gemerlapnya sebuah kota Metropolitan.
Kedua, puisi tersebut dibuat sebagai kritik sosial karena kondisi Jakarta yang banyak menelantarkan pengemis dan memelihara kaum fakir.
Ketiga, puisi tersebut dibuat sebagai wujud rasa empati, melankolis, dan pengiba Toto yang dikenal sangat mengasihi kaum tunawisma.
Lain halnya dengan Chairil Anwar yang sangat bertolak belakang dengan sifat Toto yang demikian. Dalam bait puisinya, Chairil dengan terang-terangan menampilkan keengganannya pada pengemis, Sudah tercacar semua di muka // Nanah meleleh dari muka // Sembarang kau merebah // Mengganggu dalam mimpiku // Menghempas aku di bumi keras // Di bibirku terasa pedas#
Chairil Anwar mencoba menampilkan rasa ketidaksukaannya kepada pengemis jalanan yang menurutnya membuat seisi kota semakin sesak dan tak beraturan. Bagaimana tidak? Kehadiran para pengemis hanya menghambat lalu lalang mobilitas sosial, bergelimpangan di markah jalan yang membuat seisi kota semakin sesak dan kumuh.
Bukan berarti Chairil tidak iba, namun mengasihi pengemis bukan hanya dengan cara memberi, bisa dengan mendoakan atau minimal jangan memberi penolakan.
Dalam puisinya, Toto berusaha menampilkan sisi gelap kota Jakarta yang jarang disorot. Dengan memperkuat citra visual, pembaca diajak berkelana untuk ikut membayangkan potret menyedihkan para pengemis di bawah kolong jembatan dan di atas genangan air yang kotor.
Toto memposisikan dirinya sebagai tokoh yang seolah-olah paham dan mengerti tentang kehidupan para pengemis. Ia menggambarkan bagaimana besarnya keinginan dan harapan para pengemis yang setinggi Menara Katedral, namun terbentur dengan beton kolong jembatan.
“Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil”. Larik ini mengindikasikan bahwa Toto sering menjumpai pengemis-pengemis itu di jalanan. Larik ini juga mengindikasikan bahwa Toto selalu melewati jalur yang sama setiap kali bepergian, yang mana tempat itu adalah kolong jembatan dan/atau sepanjang jalan, tempat pengemis-pengemis itu memohon iba.
Kemudian makna gadis kecil berkaleng kecil adalah wujud emotif dari Pengarang untuk menggambarkan karakter pengemis yang sangat identik dengan kaleng kecil. Sebenarnya, Toto bisa saja menuliskannya dengan “Setiap kita bertemu, wahai pengemis”, namun itu tidak Toto lakukan guna menghadirkan unsur emosional dalam puisinya.
“Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka”. Larik ini menggambarkan betapa ironinya pengemis-pengemis itu yang masih terlalu dini untuk menghadapi dunia yang begitu keras. Merujuk pada gadis kecil berkaleng kecil, maka bisa dipastikan karakter pengemis dalam puisi tersebut adalah seorang anak kecil.
Toto sengaja menciptakan efek ironi dalam puisinya untuk menghadirkan sisi berlawanan dari kehidupan masa kecil yang kebanyakan gemerlap dengan kecukupan, kebahagiaan, dan kelayakan. Kemudian makna “Tengadah padaku, pada bulan merah jambu”, menyiratkan bahwa pengemis kecil itu sedang memohon iba pada Si Aku Lirik. Bulan merah jambu disimbolkan sebagai kondisi pengemis kecil yang jauh dari kata sempurna: betapa melaratnya hidupnya, betapa malangnya ia tak mempunyai asa.
“Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa”, bermakna rasa solidaritas masyarakat Jakarta yang sama sekali tidak memedulikan kaum tunawisma, tentu sangat berkebalikan dengan gemerlapnya kota Jakarta. Gemerlapnya kota Jakarta yang diidentikkan dengan kemewahan, tentu harus lebih tenggang rasa terhadap sesama, mengasihi, dan mengiba, bukan justru sebaliknya. Tapi pada kenyataannya, banyak dari manusia-manusia itu yang kehilangan hati nuraninya: perasaannya sudah mati, dan acuh tak acuh.
“Ingin aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil // Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok // Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan // Gembira dari
kemayaan riang#. Makna dalam bait kedua adalah Si Aku Lirik ingin turut merasakan kehidupan di bawah kolong jembatan; bagaimana hidup hanya dari angan-angan, bagaimana bergembira hanya dari hal-hal maya, dan bagaimana bertahan hanya dari balik beton. Dalam bait kedua ini, Toto berusaha menampilkan citra visual dari kehidupan menyedihkan di bawah jembatan, meski hanya dengan berandai-andai.
“Duniamu yang lebih tinggi dari Menara Katedral // Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kau hafal”, Si Aku Lirik di sini mencoba masuk ke dunia pengemis kecil itu, seolah-olah menjadi tokoh yang paling mengerti harapan-harapan dan mimpi-mimpinya.
Toto menggambarkan para pengemis itu bukan tidak punya mimpi, menurut Toto, mimpi mereka bahkan lebih tinggi dari Menara Katedral. Hanya saja, setinggi-tingginya mimpi mereka, nasib malang membenturkannya dengan atap jembatan yang keras. Alhasil, mereka hanya terkungkung dalam kubangan air kotor di bawah jembatan. Hidupnya tak lebih dari sebatas genangan air kotor, cuaca dingin, dan mungkin saja penolakan.
“Jiwa begitu murni, terlalu murni // Untuk bisa membagi dukaku”, bermakna bahwa jiwa-jiwa polos seperti mereka masih terlalu lugu untuk tidak membuat Si Aku Lirik bersedih. Artinya, larik ini menyiratkan bahwa setiap kali Si Aku Lirik melihat pemandangan memilukan itu, Si Aku Lirik selalu merasa iba dan berduka. Wajah-wajah lugu seperti mereka dipaksa bertahan dengan jalan seperti itu. Keadaan yang memaksa mereka untuk berbuat demikian, bukan karena keinginan, apalagi kemauan.
“Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil // Bulan di atas itu, tak ada yang punya”, larik ini kembali berbicara tentang pengandaian dari Sang Pengarang. Bulan pada bait ini merujuk pada bulan merah jambu di bait pertama yang disimbolkan sebagai kemelaratan, kesengsaraan, dan penderitaan: betapa tidak adanya harapan dalam hidupnya.
Jika pengemis kecil itu mati, maka lepaslah semua penderitaannya, kemelaratannya akan dibiarkan menggantung di atas sana. Kesengsaraannya tidak akan ada yang mau memilikinya selain dirinya sendiri, sebab tak ada satu orang pun yang mau terbalut sengsara. Itulah mengapa larik terakhir berbunyi tak ada yang punya.
“Dan kotaku, ah kotaku // Hidupnya tak lagi punya tanda”, larik ini bersambung pada larik sebelumnya. Karena bersambung, maka maknanya pun dapat berkorelasi. Jika pengemis kecil itu mati, maka putuslah penderitaannya di dunia, kemelaratan hidupnya akan berakhir, dan kesengsaraannya akan sirna, maka tiada lagi orang yang peduli: tenggang rasa, saling mengasihi, mengiba.
Artinya, jika sewaktu ada saja pengemis ditelantarkan (banyak orang yang tidak peduli), maka bagaimana jika pengemis-pengemis itu tak ada? Kondisi Jakarta akan semakin sesak dengan sikap acuh tak acuh dan apatis seperti kota mati, tak berpenghuni.
Pada akhirnya, tidak ada yang salah dengan sifat yang Tuhan anugerahkan pada jiwa jiwa manusia, semuanya tentu berlaku sesuai porsinya. Tapi, menjadi salah jika sifat itu tidak manusia gunakan untuk menjadi penolongnya kelak.
Jika kita merujuk pada puisi Toto, maka ada banyak jalan untuk berbuat baik, salah satunya dengan mengasihi pengemis. Bukan berarti kita mendukung aksi meminta-minta, namun dengan kita memberi, setidaknya kita telah meringankan satu bebannya.
Terlepas aksi itu benar atau tidak: didasarkan atas keterpaksaan atau hanya rasa malas, paling tidak kita sebagai manusia yang “berhati” turut bisa mengerti kondisi mereka –kaum para tunawisma.
Pojok Kampus: Punya keresahan yang ingin dituangkan dalam bentuk tulisan? Pengalaman, cerita unik, hal seru, atau informasi seputar kampus yang ingin disampaikan kepada publik? Atau ingin menyampaikan ide, opini dan kritik seputar dunia kampus? Yuk menjadi kontributor dan kirim naskah tulisanmu ke laman Pojok Kampus. Sebelum itu, sebaiknya kamu ikuti dengan seksama, teliti, dan hati-hati Panduan Kirim Tulisan dan Poin Kontributor di sekampus.com