Taman Religi Museum Tsunami

Aceh memanggilku untuk menjejaki tanahnya, Tuhan memintaku untuk terbang ke sana, dan aku harus memenuhinya. Rasanya, bukan pilihan yang tepat jika harus menolak atau menundanya. Aku terbang malam itu juga. Orang bilang, berangkat selalu identik dengan pergi, namun kali ini berbeda, aku berangkat untuk pulang.

Salah satu tugu monumental penuh historical yang akan kubahas kali ini adalah Museum Tsunami. Museum Tsunami terletak di Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh. Museum ini sengaja dirancang untuk mengenang sejarah maritim paling memilukan pada tahun 2004 lalu.

Bencana gempa yang disusul tsunami lalu menjadi alasan bangunan ini berdiri kokoh. Selain sebagai pengingat simbolis, bangunan ini juga dijadikan sebagai pusat pendidikan, pusat penampungan bencana darurat, monumen bersejarah, juga wujud replika atas tragedi yang menimpa kapal generator milik PLTN Aceh, yakni PLTD Apung. Saat kejadian, kapal nahas itu sedang berada di tengah laut sebelum akhirnya terseret ke daratan.

Namun bukan sisi gelap itu yang ingin kuceritakan, hal itu masih terlalu sensitif untuk kubahas lagi mengingat banyaknya jiwa-jiwa traumatis yang baru-baru ini sembuh. Aku tidak ingin membuka luka lama, mengungkit-ungkit kenangan malang itu kembali ke permukaan.

Aku hanya tidak ingin mereka yang ditinggalkan justru membenci Tuhannya sebab tulisan ini, aku hanya tidak ingin mereka kembali terluka hanya karena topik usang ini. Sebab aku percaya bahwa mereka sudah berusaha keras untuk sembuh dari luka, bangkit dari sengsara, dan merelakan semuanya.

Harus kuakui
Meski baru pertama kali
Sungguh berbeda atmosfer di sini
Terlalu banyak luka di tempat ini
Air mata pun mengiringi
Betapa terasa
Jejak-jejak perjaka yang harus lebih dulu pergi
Juga nama-nama tak berdosa yang kini mati
Harus terpenggal sebab takdir Ilahi
Sebelum disatukan dalam abadi

Sejak awal masuk, aku melihat puing-puing reruntuhan, transportasi yang sengaja dipajang. Semuanya tampak usang untuk dikenang. Semua bagian dari Museum Tsunami ini rata-rata bernuansa dark light yang diasosiasikan sebagai bentuk kepiluan masyarakat Aceh saat kejadian.

Di sepanjang lorong pertama, terpajang kaligrafi asma’ul husna dengan aliran air di bawahnya. Semuanya dikonsep semirip mungkin dengan kejadian aslinya agar pengunjung juga dapat ikut merasakan suasana saat kejadian.

Bahkan pada lorong yang lain, kita akan merasa ada di zaman itu, di mana suara gelombang tsunami nyata terdengar, suara teriakan orang-orang, suara pecah tangis, dan suara kehancuran. Aku benar-benar takjub dengan wujud audio-visualisasi dari bangunan ini.

Tempat Perenungan: The Light of God

Kemudian ujung dari lorong itu adalah gallery display yang menggambarkan kondisi pascatsunami dengan berbagai kerusakan dan kerugian material. Semua gambar tampak menyedihkan setelah gulungan ombak menyeret semua fasilitas kota dan manusia.

Potret-potret menyedihkan itu semakin didukung lagi dengan layar lebar di depan gallery display untuk menayangkan video amatir tsunami. Nuansa remang-remang menambah suasana kelam dan kesedihan.

Perjalanan berlanjut ke Sumur Doa. Wajah Tuhan seolah tampak nyata di lorong itu. Menggunakan konsep kedalaman sumur yang gelap, ditambah dengan pencahayaan di puncaknya menambah nilai magis yang kental. Di bagian dinding sumur, tertulis nama-nama korban yang malang.

Sementara di puncak sumur terdapat lafal jalla jalaluhu sebagai pembuktian bahwa Allah adalah pemilik takhta tertinggi di dunia ini. Pemandangan ini seakan menamparku bahwa Allah berkuasa atas segalanya.

Perjalanan berlanjut ke ruang kedap audio, sebuah tempat penayangan film amatir dan dokumenter saat tsunami terjadi. Di ruangan itu, pengunjung disuguhkan dengan tayangan tsunami dan sedikit penjelasan ilmiah tentang tsunami.

Dari tayangan itu, paling tidak aku menangkap satu hal penting namun mengiris hati, yakni pemandangan sesaat sebelum tsunami, pascatsunami, sampai bala bantuan datang. Suasana haru menyelimuti ruangan kedap suara itu. Banyak yang meneteskan air mata saat tangis dan suara sumbang mulai terdengar.

Aku juga melihat miniatur museum dari penginderaan jarak jauh. Tampak jelas bahwa bentuk museum ini seperti kapal. Hal ini bertujuan untuk mengenang kapal PLTN milik Aceh, yakni PLTD Aceh yang saat hari kejadian sedang berlayar.

Maka tak heran jika tragedi itu lantas dijadikan sebagai ikonik dari bangunan bersejarah ini. Konsep replika kapal raksasa ini terlihat klasik, namun sangat berkelas dan megah. Ini yang selanjutnya menjadikan bangunan ini terlihat sangat unik namun tetap kaya akan sejarah.

Kemudian jalur terakhir yakni Jembatan Perdamaian yang banyak tergambar bendera-bendera negara penyumbang bantuan kemanusiaan. Saat Aceh dilanda tsunami dahsyat, tentu hal itu menyita perhatian dunia hingga mengundang banyak bala bantuan datang: mulai dari bantuan materi sampai layanan psikologi.

Negara-negara pejuang kemanusiaan itu diabadikan dalam sebuah simbol bendera yang megah sebagai bentuk terima kasih paling tulus dari Indonesia. Pemandangan ini sungguh pemandangan yang menyejukkan hati. Melihat ragam corak bendera dari banyak negara membuatku optimis bahwa “di setiap kesulitan, pasti ada kemudahan.”

Dua tempat yang berhasil menyita atensiku adalah Sumur Doa dan Jembatan Perdamaian. Keduanya membuatku merenung bahwa akan ada tangan Tuhan bagi setiap kaum yang percaya keajaiban. Pesan tersirat yang berusaha mereka sampaikan berhasil mengena di hatiku.

Doa terbaik untuk mereka yang telah berpulang.


Pojok Kampus: Punya keresahan yang ingin dituangkan dalam bentuk tulisan? Pengalaman, cerita unik, hal seru, atau informasi seputar kampus yang ingin disampaikan kepada publik? Atau ingin menyampaikan ide, opini dan kritik seputar dunia kampus? Yuk menjadi kontributor dan kirim naskah tulisanmu ke laman Pojok Kampus. Sebelum itu, sebaiknya kamu ikuti dengan seksama, teliti, dan hati-hati Panduan Kirim Tulisan dan Poin Kontributor di sekampus.com

Choirul Anam
Choirul Anam
Choirul Anam, peserta Pertukaran Mahasiswa Merdeka 4 Inbound Universitas Muhammadiyah Aceh yang berasal dari Universitas Madura, Jawa Timur. Choirul Anam adalah penulis buku: Menuju Terang (2020), Andai Dulu Kita Tak Bertemu (2021), Road to Glory (2021), Pelayan Raqib Atidmu (horor), Critical IPA-IPS (novel), dan masih banyak lagi. Selain karya cetak, karya-karya Choirul Anam juga terpublikasi di media digital. Hingga saat ini, tercatat sudah 90 judul buku yang telah dilahirkan.
RELATED ARTICLES

Leave a Reply

Ramai Dibaca