Refleksi Dua Dekade Aceh Pasca Bencana Besar

Menurut data World Risk Report tahun 2022, Indonesia menjadi negara ketiga paling  rawan terkena bencana setelah Filipina dan India. United State Geological Survey menambahkan bahwa dalam periode 1900-2022, Indonesia tercatat mengalami lebih dari 150  kali gempa.

Sementara itu, National Oceanic Atmospheric Administration juga mencatat  bahwa dalam rentang waktu 416-2018 M, Indonesia mengalami setidaknya 246 kali tsunami.  Dan kebetulan, Aceh dalam hal ini berada di zona subduksi antara lempeng Indo-Australia  dan Eurasia.

Hingga pada akhirnya, pada tahun 2004 terjadi bencana mengerikan yang  meluluhlantakkan seisi Aceh (bahkan merambah ke beberapa negara). Beberapa sumber  menyebutkan bahwa energi yang dilepaskan akibat tumbukan dua lempeng tersebut setara  dengan 1500 kali lipat bom Hiroshima. 

Minggu, 26 Desember 2004 pukul 07:58:53 WIB akan selamanya menjadi memori  kelam Aceh di detik-detik menutup tahun dengan trauma yang mendalam. Gempa  berkekuatan 9,3 SR mengguncang Aceh di kedalaman 30 km di bawah permukaan laut di  lepas pantai barat Sumatra selama 10 menit.

Saking dahsyatnya, gempa ini juga memicu  gempa di Alaska yang kemudian tercatat sebagai tiga gempa terbesar di dunia. Selang  beberapa menit, air laut tiba-tiba surut sejauh 1 km dari bibir pantai. Dan hal ini menjadi  indikasi bahwa akan terjadi tsunami yang akan menyapu seisi kota.

Tepat pukul 08:42 WIB,  tsunami dengan volume 30 km3dan tinggi 30 meter tumpah ke daratan. Tsunami tersebut  menciptakan daerah retakan sepanjang 1600 km dengan kecepatan bawah laut 800 km/jam  (setara 100 m/s).

Dalam waktu singkat, gelombang tersebut dengan cepat menenggelamkan  Kabupaten Aceh Selatan setinggi 10 meter, dan Kabupaten Aceh Barat setinggi 9 meter. 

Menurut kesaksian Cut Putri, salah satu korban selamat dalam tragedi tersebut  bersaksi bahwa dari dalam apartemennya, ia sempat melihat kapal PLTD Apung (kapal  generator listrik sepanjang 65 meter dan bobot 2600 ton) milik PLTN Aceh yang sedang  berada di tengah laut sebelum akhirnya ikut terseret ke daratan.

Sesaat sebelum tsunami  menerjang, ia bersaksi bahwa suara gelombang mengerikan itu seperti pesawat jatuh. Ia juga  menambahkan bahwa hanya dalam hitungan detik, gelombang itu berhasil menyapu seisi kota  dengan membawa material berat: jalan-jalan, rumah-rumah, dan mobil-mobil terkubur dalam  gulungan ombak yang pekat dan cepat. 

Di balik kejadian yang menyayat hati ini, umat manusia seolah sedang diingatkan  tentang kebesaran Tuhan. Kisah fenomenal tentang Masjid Raya Baiturrahman yang tetap  berdiri kokoh di tengah guncangan gempa dan terjangan tsunami seolah telah menjadi ikonik 

serta keauntentikan tentang kuasa Tuhan. Tetap berdirinya Masjid Raya Baiturrahman di  tengah kerusakan besar-besaran itu tentu menjadi kenangan dan cerita tersendiri bagi rakyat  Aceh. 

Pascakejadian, pemerintah melaporkan bahwa 90% populasi terumbu karang hancur,  1489 gedung sekolah rata dengan tanah, 11 ribu hektare lahan perkebunan rusak (2900  hektare di antaranya rusak permanen), 280 ribu nyawa melayang, dan puluhan ribu jasad  lainnya masih tersebar di negeri tetangga.

Setelah berita ini tersebar ke seluruh dunia, pada 27  Desember 2004 PBB menetapkan bencana ini sebagai bencana kemanusiaan terbesar yang  pernah terjadi. Dan atas klaim ini, tentu mengundang atensi dunia untuk mengirimkan  bantuan: Jerman mengirimkan pesawat tempurnya sebagai klinik darurat, Amerika  mengirimkan kapal USS Abraham Lincoln untuk evakuasi korban dan penyaluran bantuan.  Diperkirakan bantuan pada saat itu ditaksir senilai $2 miliar USD (setara Rp. 30 triliun). 

Kejadian traumatis ini tentu meninggalkan duka mendalam bagi mereka yang  ditinggalkan dan korban selamat. Rakyat Aceh tidak menyangka kalau momen bersama  keluarga di Minggu pagi itu akan menjadi malapetaka yang begitu menyedihkan.

Hari yang  semestinya dijadikan merekam momen bersama, dengan sekejap terenggut oleh bencana.  Kenangan kelam biarlah terkubur dalam-dalam, tidak ada maksud apa pun di balik tulisan ini,  hanya saja sejarah juga perlu diabadikan. Baik buruknya suatu kejadian, cukup jadikan bahan  koreksi diri dan renungan.

Nyatanya, terlepas dari itu semua, Aceh berhasil membuktikan  dengan rekonstruksi besar-besaran yang telah banyak direalisasikan.


Pojok Kampus: Punya keresahan yang ingin dituangkan dalam bentuk tulisan? Pengalaman, cerita unik, hal seru, atau informasi seputar kampus yang ingin disampaikan kepada publik? Atau ingin menyampaikan ide, opini dan kritik seputar dunia kampus? Yuk menjadi kontributor dan kirim naskah tulisanmu ke laman Pojok Kampus. Sebelum itu, sebaiknya kamu ikuti dengan seksama, teliti, dan hati-hati Panduan Kirim Tulisan dan Poin Kontributor di sekampus.com


Yuk terhubung dengan teman sekampus di sosial media
instagram: instagram.com/sekampuss
tiktok: tiktok.com/@sekampus

Choirul Anam
Choirul Anam
Choirul Anam, peserta Pertukaran Mahasiswa Merdeka 4 Inbound Universitas Muhammadiyah Aceh yang berasal dari Universitas Madura, Jawa Timur. Choirul Anam adalah penulis buku: Menuju Terang (2020), Andai Dulu Kita Tak Bertemu (2021), Road to Glory (2021), Pelayan Raqib Atidmu (horor), Critical IPA-IPS (novel), dan masih banyak lagi. Selain karya cetak, karya-karya Choirul Anam juga terpublikasi di media digital. Hingga saat ini, tercatat sudah 90 judul buku yang telah dilahirkan.
RELATED ARTICLES

Leave a Reply

Ramai Dibaca